Sejarah Kerajaan Sriwijaya
         
         Kerajaan Sriwijaya (atau juga 
disebut Srivijaya) adalah salah satu  kemaharajaan   maritim yang kuat 
di pulau Sumatera  dan banyak memberi  pengaruh di  Nusantara  dengan 
daerah kekuasaan membentang dari Kamboja,  Thailand,  Semenanjung 
Malaya, Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan  Sulawesi. Dalam  bahasa 
Sansekerta, sri berarti “bercahaya” dan wijaya  berarti  “kemenangan”.
 
         Bukti
 awal mengenai keberadaan kerajaan ini berasal dari  abad ke-7;  seorang
 pendeta Tiongkok, I Tsing, menulis bahwa ia  mengunjungi  Sriwijaya 
tahun 671 dan tinggal selama 6 bulan. Prasasti yang paling tua  mengenai
 Sriwijaya juga berada pada abad ke-7,  yaitu prasasti Kedukan  Bukit di
 Palembang, bertarikh 682. Kemunduran  pengaruh Sriwijaya  terhadap 
daerah bawahannya mulai menyusut dikarenakan  beberapa  peperangan 
diantaranya serangan dari raja Dharmawangsa Teguh  dari Jawa  di tahun 
990, dan tahun 1025 serangan Rajendra Chola I dari  Koromandel,  
selanjutnya tahun 1183 kekuasaan Sriwijaya dibawah kendali  kerajaan  
Dharmasraya.
 
        Setelah
 Sriwijaya jatuh, kerajaan ini terlupakan dan eksistensi   Sriwijaya 
baru diketahui secara resmi tahun 1918 oleh sejarawan Perancis   George 
Cœdès dari École française d’Extrême-Orient.
 
Historiografi
 
        Tidak
 terdapat catatan lebih lanjut mengenai Sriwijaya dalam sejarah   
Indonesia; masa lalunya yang terlupakan dibentuk kembali oleh sarjana   
asing. Tidak ada orang Indonesia modern yang mendengar mengenai   
Sriwijaya sampai tahun 1920-an, ketika sarjana Perancis George Cœdès   
mempublikasikan penemuannya dalam koran berbahasa Belanda dan Indonesia.
   Coedès menyatakan bahwa referensi Tiongkok terhadap “San-fo-ts’i”,   
sebelumnya dibaca “Sribhoja”, dan beberapa prasasti dalam Melayu Kuno   
merujuk pada kekaisaran yang sama.
 
         Sriwijaya
 menjadi simbol kebesaran Sumatera awal, dan kerajaan besar   Nusantara 
selain Majapahit di Jawa Timur. Pada abad ke-20, kedua   kerajaan 
tersebut menjadi referensi oleh kaum nasionalis untuk   menunjukkan 
bahwa Indonesia merupakan satu kesatuan negara sebelelum   kolonialisme 
Belanda.
 
Sriwijaya
 disebut dengan berbagai macam nama. Orang Tionghoa  menyebutnya  
Shih-li-fo-shih atau San-fo-ts’i atau San Fo Qi. Dalam  bahasa  
Sansekerta dan Pali, kerajaan Sriwijaya disebut Yavadesh dan  Javadeh.  
Bangsa Arab menyebutnya Zabaj dan Khmer menyebutnya Malayu.  Banyaknya  
nama merupakan alasan lain mengapa Sriwijaya sangat sulit  ditemukan.  
Sementara dari peta Ptolemaeus ditemukan keterangan tentang  adanya 3  
pulau Sabadeibei yang kemungkinan berkaitan dengan Sriwijaya.
 
        Sekitar
 tahun 1993, Pierre-Yves Manguin melakukan observasi dan   berpendapat 
bahwa pusat Sriwijaya berada di Sungai Musi antara Bukit   Seguntang dan
 Sabokingking (terletak di provinsi Sumatera Selatan   sekarang). Namun 
sebelumnya Soekmono berpendapat bahwa pusat Sriwijaya   terletak pada 
kawasan sehiliran Batang Hari, antara Muara Sabak sampai   ke Muara 
Tembesi (di provinsi Jambi sekarang), dengan catatan Malayu   tidak di 
kawasan tersebut, jika Malayu pada kawasan tersebut, ia   cendrung 
kepada pendapat Moens, yang sebelumnya juga telah berpendapat   bahwa 
letak dari pusat kerajaan Sriwijaya berada pada kawasan Candi   Muara 
Takus (provinsi Riau sekarang), dengan asumsi petunjuk arah   perjalanan
 dalam catatan I Tsing, serta hal ini dapat juga dikaitkan   dengan 
berita tentang pembangunan candi yang dipersembahkan oleh raja   
Sriwijaya (Se li chu la wu ni fu ma tian hwa atau Sri Cudamaniwarmadewa)
   tahun 1003 kepada kaisar Cina yang dinamakan cheng tien wan shou  
(Candi  Bungsu, salah satu bagian dari candi yang terletak di Muara  
Takus).  Namun yang pasti pada masa penaklukan oleh Rajendra Chola I,  
berdasarkan  prasasti Tanjore, Sriwijaya telah beribukota di Kadaram  
(Kedah  sekarang).
 
Pembentukan dan pertumbuhan
 
        Belum
 banyak bukti fisik mengenai Sriwijaya yang dapat ditemukan.   Kerajaan 
ini menjadi pusat perdagangan dan merupakan negara maritim,   namun 
kerajaan ini tidak memperluas kekuasaannya di luar wilayah   kepulauan 
Asia Tenggara, dengan pengecualian berkontribusi untuk   populasi 
Madagaskar  sejauh 3.300 mil di barat. Beberapa ahli masih   
memperdebatkan kawasan yang menjadi pusat pemerintahan Sriwijaya, selain
   itu kemungkinan kerajaan ini biasa memindahkan pusat pemerintahannya,
   namun kawasan yang menjadi ibukota tetap diperintah secara langsung  
oleh  penguasa, sedangkan daerah pendukungnya diperintah oleh datu  
setempat.
 
         
         Kekaisaran
 Sriwijaya telah ada sejak 671 sesuai dengan catatan I  Tsing,  dari 
prasasti Kedukan Bukit pada tahun 682 di diketahui imperium  ini di  
bawah kepemimpinan Dapunta Hyang. Di abad ke-7 ini, orang  Tionghoa  
mencatat bahwa terdapat dua kerajaan yaitu Malayu dan Kedah  menjadi  
bagian kemaharajaan Sriwijaya. Berdasarkan prasasti Kota Kapur  yang 
yang  berangka tahun 686 ditemukan di pulau Bangka, kemaharajaan  ini 
telah  menguasai bagian selatan Sumatera, pulau Bangka dan Belitung,  
hingga  Lampung. Prasasti ini juga menyebutkan bahwa Sri Jayanasa   
telah  melancarkan ekspedisi militer untuk menghukum Bhumi Jawa yang  
tidak  berbakti kepada Sriwijaya, peristiwa ini bersamaan dengan  
runtuhnya  Tarumanagara di Jawa Barat dan Holing (Kalingga) di Jawa  
Tengah yang  kemungkinan besar akibat serangan Sriwijaya. Sriwijaya  
tumbuh dan  berhasil mengendalikan jalur perdagangan maritim di Selat  
Malaka, Selat  Sunda, Laut China Selatan, Laut Jawa, dan Selat Karimata.
 
         Ekspansi
 kerajaan ini ke Jawa dan Semenanjung Malaya, menjadikan   Sriwijaya 
mengontrol dua pusat perdagangan utama di Asia Tenggara.   Berdasarkan 
observasi, ditemukan reruntuhan candi-candi Sriwijaya di   Thailand dan 
Kamboja. Di abad ke-7, pelabuhan Cham di sebelah timur   Indochina mulai
 mengalihkan banyak pedagang dari Sriwijaya. Untuk   mencegah hal 
tersebut, Maharaja Dharmasetu melancarkan beberapa serangan   ke 
kota-kota pantai di Indochina. Kota Indrapura di tepi sungai  Mekong,  
di awal abad ke-8 berada di bawah kendali Sriwijaya. Sriwijaya   
meneruskan dominasinya atas Kamboja, sampai raja Khmer Jayawarman II,   
pendiri imperium Khmer, memutuskan hubungan dengan Sriwijaya di abad   
yang sama. Di akhir abad ke-8 beberapa kerajaan di Jawa, antara lain   
Tarumanegara dan Holing berada di bawah kekuasaan Sriwijaya. Menurut   
catatan, pada masa ini pula wangsa Sailendra bermigrasi ke Jawa Tengah  
 dan berkuasa disana. Di abad ini pula, Langkasuka di semenanjung Melayu
   menjadi bagian kerajaan. Di masa berikutnya, Pan Pan dan 
Trambralinga,   yang terletak di sebelah utara Langkasuka, juga berada 
di bawah  pengaruh  Sriwijaya.
 
       Setelah
 Dharmasetu, Samaratungga menjadi penerus kerajaan. Ia  berkuasa  pada 
periode 792 sampai 835. Tidak seperti Dharmasetu yang  ekspansionis,  
Samaratungga tidak melakukan ekspansi militer, tetapi  lebih memilih  
untuk memperkuat penguasaan Sriwijaya di Jawa. Selama  masa  
kepemimpinannya, ia membangun candi Borobudur di Jawa Tengah yang   
selesai pada tahun 825.
 
Agama dan Budaya
 
         Sebagai
 pusat pengajaran Buddha Vajrayana, Sriwijaya menarik banyak   peziarah 
dan sarjana dari negara-negara di Asia. Antara lain pendeta   dari 
Tiongkok I Tsing, yang melakukan kunjungan ke Sumatera dalam   
perjalanan studinya di Universitas Nalanda, India, pada tahun 671  dan  
 695, serta di abad ke-11, Atisha, seorang sarjana Buddha asal Benggala 
   yang berperan dalam mengembangkan Buddha Vajrayana di Tibet. I Tsing 
  melaporkan bahwa Sriwijaya menjadi rumah bagi sarjana Buddha sehingga 
  menjadi pusat pembelajaran agama Buddha. Pengunjung yang datang ke 
pulau   ini menyebutkan bahwa koin emas telah digunakan di pesisir 
kerajaan.   Selain itu ajaran Buddha aliran Buddha Hinayana dan Buddha 
Mahayana juga   turut berkembang di Sriwijaya.
 
        Kerajaan
 Sriwijaya banyak dipengaruhi budaya India, pertama oleh  budaya  Hindu 
kemudian diikuti pula oleh agama Buddha. Raja-raja  Sriwijaya  menguasai
 kepulauan Melayu melalui perdagangan dan  penaklukkan dari  kurun abad 
ke-7 hingga abad ke-9, sehingga secara  langsung turut serta  
mengembangkan bahasa Melayu beserta kebudayaannya  di Nusantara.
 
        Sangat
 dimungkinkan bahwa Sriwijaya yang termahsyur sebagai bandar  pusat  
perdagangan di Asia Tenggara, tentunya menarik minat para  pedagang dan 
 ulama muslim dari Timur Tengah. Sehingga beberapa kerajaan  yang semula
  merupakan bagian dari Sriwijaya, kemudian tumbuh menjadi  cikal-bakal 
 kerajaan-kerajaan Islam di Sumatera kelak, disaat  melemahnya pengaruh 
 Sriwijaya.
 
        Ada
 sumber yang menyebutkan, karena pengaruh orang muslim Arab yang   
banyak berkunjung di Sriwijaya, maka raja Sriwijaya yang bernama Sri   
Indrawarman masuk Islam pada tahun 718. Sehingga sangat dimungkinkan   
kehidupan sosial Sriwijaya adalah masyarakat sosial yang di dalamnya   
terdapat masyarakat Budha dan Muslim sekaligus. Tercatat beberapa kali  
 raja Sriwijaya berkirim surat ke khalifah Islam di Suriah. Pada salah  
 satu naskah surat yang ditujukan kepada khalifah Umar bin Abdul Aziz   
(717-720M) berisi permintaan agar khalifah sudi mengirimkan da’i ke   
istana Sriwijaya.
 
Perdagangan
 
         Di
 dunia perdagangan, Sriwijaya menjadi pengendali jalur perdagangan   
antara India dan Tiongkok, yakni dengan penguasaan atas selat Malaka  
dan  selat Sunda. Orang Arab mencatat bahwa Sriwijaya memiliki aneka   
komoditi seperti kapur barus, kayu gaharu, cengkeh, pala, kepulaga,   
gading, emas, dan timah yang membuat raja Sriwijaya sekaya raja-raja di 
  India. Kekayaan yang melimpah ini telah memungkinkan Sriwijaya membeli
   kesetiaan dari vassal-vassalnya di seluruh Asia Tenggara.
 
        Pada
 paruh pertama abad ke-10, diantara kejatuhan dinasti Tang dan   naiknya
 dinasti Song, perdagangan dengan luar negeri cukup marak,   terutama 
Fujian, kerajaan Min dan negeri kaya Guangdong, kerajaan Nan   Han. Tak 
diragukan lagi Sriwijaya mendapatkan keuntungan dari   perdagangan ini.
 
Relasi dengan kekuatan regional
 
        Untuk
 memperkuat posisinya atas penguasaan pada kawasan di Asia   Tenggara, 
Sriwijaya menjalin hubungan diplomasi dengan kekaisaran China,   dan 
secara teratur mengantarkan utusan beserta upeti.
 
Pada
 masa awal kerajaan Khmer merupakan daerah jajahan Sriwijaya.  Banyak  
sejarawan mengklaim bahwa Chaiya, di propinsi Surat Thani,  Thailand  
Selatan, sebagai ibu kota kerajaan tersebut, pengaruh  Sriwijaya nampak 
 pada bangunan pagoda Borom That yang bergaya  Sriwijaya. Setelah  
kejatuhan Sriwijaya, Chaiya terbagi menjadi tiga  kota yakni (Mueang)  
Chaiya, Thatong (Kanchanadit), dan Khirirat Nikhom.
 
          Sriwijaya
 juga berhubungan dekat dengan kerajaan Pala di Benggala,  pada  
prasasti Nalanda berangka 860 mencatat bahwa raja Balaputradewa   
mendedikasikan sebuah biara kepada Universitas Nalanda. Relasi dengan   
dinasti Chola di selatan India juga cukup baik, dari prasasti Leiden   
disebutkan raja Sriwijaya telah membangun sebuah vihara yang dinamakan  
 dengan Vihara Culamanivarmma, namun menjadi buruk setelah Rajendra 
Chola   I naik tahta yang melakukan penyerangan di abad ke-11. Kemudian 
  hubungan ini kembali membaik pada masa Kulothunga Chola I, di mana 
raja   Sriwijaya di Kadaram mengirimkan utusan yang meminta 
dikeluarkannya   pengumuman pembebasan cukai pada kawasan sekitar Vihara
 Culamanivarmma   tersebut. Namun demikian pada masa ini Sriwijaya 
dianggap telah menjadi   bahagian dari dinasti Chola, dari kronik 
Tiongkok menyebutkan bahwa   Kulothunga Chola I (Ti-hua-ka-lo) sebagai 
raja San-fo-ts’i membantu   perbaikan candi dekat Kanton pada tahun 
1079, pada masa dinasti Song   candi ini disebut dengan nama Tien Ching 
Kuan dan pada masa dinasti Yuan   disebut dengan nama Yuan Miau Kwan.
 
Masa keemasan
 
          Kemaharajaan
 Sriwijaya bercirikan kerajaan maritim, mengandalkan   hegemoni pada 
kekuatan armada lautnya dalam menguasai alur pelayaran,   jalur 
perdagangan, menguasai dan membangun beberapa kawasan strategis   
sebagai pangkalan armadanya dalam mengawasi, melindungi kapal-kapal   
dagang, memungut cukai serta untuk menjaga wilayah kedaulatan dan   
kekuasaanya.
 
            Dari
 catatan sejarah dan bukti arkeologi, pada abad ke-9 Sriwijaya  telah  
melakukan kolonisasi di hampir seluruh kerajaan-kerajaan Asia  Tenggara,
  antara lain: Sumatera, Jawa, Semenanjung Malaya, Thailand,  Kamboja,  
Vietnam, dan Filipina. Dominasi atas Selat Malaka dan Selat  Sunda,  
menjadikan Sriwijaya sebagai pengendali rute perdagangan rempah  dan  
perdagangan lokal yang mengenakan biaya atas setiap kapal yang  lewat.  
Sriwijaya mengakumulasi kekayaannya sebagai pelabuhan dan gudang   
perdagangan yang melayani pasar Tiongkok, dan India.
 
          Sriwijaya
 juga disebut berperan dalam menghancurkan kerajaan Medang  di  Jawa, 
dalam prasasti Pucangan disebutkan sebuah peristiwa  Mahapralaya  yaitu 
peristiwa hancurnya istana Medang di Jawa Timur, di  mana Haji  Wurawari
 dari Lwaram yang kemungkinan merupakan raja bawahan  Sriwijaya,  pada 
tahun 1006 atau 1016 menyerang dan menyebabkan  terbunuhnya raja  Medang
 terakhir Dharmawangsa Teguh.
 
Penurunan
 
         Tahun
 1017 dan 1025, Rajendra Chola I, raja dari dinasti Chola di   
Koromandel, India selatan, mengirim ekspedisi laut untuk menyerang   
Sriwijya, berdasarkan prasasti Tanjore bertarikh 1030, kerajaan Chola   
telah menaklukan daerah-daerah koloni Sriwijaya, sekaligus berhasil   
menawan raja Sriwijaya yang berkuasa waktu itu. Selama beberapa dekade  
 berikutnya seluruh imperium Sriwijaya telah berada dalam pengaruh   
dinasti Chola. Meskipun demikian Rajendra Chola I tetap memberikan   
peluang kepada raja-raja yang ditaklukannya untuk tetap berkuasa selama 
  tetap tunduk kepadanya. Hal ini dapat dikaitkan dengan adanya berita  
 utusan San-fo-ts’i ke Cina tahun 1028.
 
          Antara
 tahun 1079 – 1088, kronik Tionghoa mencatat bahwa San-fo-ts’i   masih 
mengirimkan utusan dari Jambi dan Palembang. Dalam berita Cina   yang 
berjudul Sung Hui Yao disebutkan bahwa kerajaan San-fo-tsi pada   tahun 
1082 mengirimkan utusan pada masa Cina di bawah pemerintahan   Kaisar 
Yuan Fong. Duta besar tersebut menyampaikan surat dari raja   Kien-pi 
bawahan San-fo-tsi, yang merupakan surat dari putri raja yang   diserahi
 urusan negara San-fo-tsi, serta menyerahkan pula 227 tahil   perhiasan,
 rumbia, dan 13 potong pakaian. Kemudian juga mengirimankan   utusan 
berikutnya di tahun 1088. Namun akibat invasi Rajendra Chola I,   
hegemoni Sriwijaya atas raja-raja bawahannya melemah, beberapa daerah   
taklukan melepaskan diri, sampai muncul Dharmasraya sebagai kekuatan   
baru yang kemudian menguasai kembali wilayah jajahan Sriwijaya mulai   
dari kawasan Semenanjung Malaya, Sumatera, sampai Jawa bagian barat.
 
           Berdasarkan
 sumber Tiongkok pada buku Chu-fan-chi yang ditulis pada   tahun 1178, 
Chou-Ju-Kua menerangkan bahwa di kepulauan Asia Tenggara   terdapat dua 
kerajaan yang sangat kuat dan kaya, yakni San-fo-ts’i dan   Cho-po 
(Jawa). Di Jawa dia menemukan bahwa rakyatnya memeluk agama Budha   dan 
Hindu, sedangkan rakyat San-fo-ts’i memeluk Budha, dan memiliki 15   
daerah bawahan yang meliputi; Si-lan (Kamboja), Tan-ma-ling   
(Tambralingga, Ligor, selatan Thailand), Kia-lo-hi (Grahi, Chaiya   
sekarang, selatan Thailand), Ling-ya-si-kia (Langkasuka), Kilantan   
(Kelantan), Pong-fong (Pahang), Tong-ya-nong (Terengganu), Fo-lo-an   
(muara sungai Dungun daerah Terengganu sekarang), Ji-lo-t’ing   
(Cherating, pantai timur semenanjung malaya), Ts’ien-mai (Semawe, pantai
   timur semenanjung malaya), Pa-t’a (Sungai Paka, pantai timur   
Semenanjung Malaya), Lan-wu-li (Lamuri di Aceh), Pa-lin-fong   
(Palembang), Kien-pi (Jambi), dan Sin-t’o (Sunda).
 
         Namun
 demikian, istilah San-fo-tsi terutama pada tahun 1178 tidak  lagi  
identik dengan Sriwijaya, melainkan telah identik dengan  Dharmasraya,  
dari daftar 15 negeri bawahan San-fo-tsi tersebut  merupakan daftar  
jajahan kerajaan Dharmasraya, walaupun sumber Tiongkok  tetap menyebut  
San-fo-tsi sebagai kerajaan yang berada di kawasan laut  Cina Selatan.  
Hal ini karena dalam Pararaton telah menyebutkan Malayu,  disebutkan  
Kertanagara raja Singhasari mengirim sebuah ekspedisi  Pamalayu atau  
Pamalayu, dan kemudian menghadiahkan Arca Amoghapasa  kepada raja 
Melayu,  Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa di  Dharmasraya 
sebagaimana yang  tertulis pada prasasti Padang Roco.  Peristiwa ini 
kemudian dikaitkan  dengan manuskrip yang terdapat pada  prasasti Grahi.
 Begitu juga dalam  Nagarakretagama, yang menguraikan  tentang daerah 
jajahan Majapahit juga  sudah tidak menyebutkan lagi nama  Sriwijaya 
untuk kawasan yang  sebelumnya merupakan kawasan Sriwijaya.
 
Struktur pemerintahan
 
         Pembentukan
 satu negara kesatuan dalam dimensi struktur otoritas  politik  
Sriwijaya, dapat dilacak dari beberapa prasasti yang mengandung   
informasi penting tentang kadātuan, vanua, samaryyāda, mandala dan   
bhūmi.
 
          Kadātuan
 dapat bermakna kawasan dātu, (tnah rumah) tempat tinggal  bini  hāji, 
tempat disimpan mas dan hasil cukai (drawy) sebagai kawasan  yang  mesti
 dijaga. Kadātuan ini dikelilingi oleh vanua, yang dapat  dianggap  
sebagai kawasan kota dari Sriwijaya yang didalamnya terdapat  vihara  
untuk tempat beribadah bagi masyarakatnya. Kadātuan dan vanua  ini  
merupakan satu kawasan inti bagi Sriwijaya itu sendiri. Menurut   
Casparis, samaryyāda merupakan kawasan yang berbatasan dengan vanua,   
yang terhubung dengan jalan khusus (samaryyāda-patha) yang dapat   
bermaksud kawasan pedalaman. Sedangkan mandala merupakan suatu kawasan  
 otonom dari bhūmi yang berada dalam pengaruh kekuasaan kadātuan   
Sriwijaya.
 
         Penguasa
 Sriwijaya disebut dengan Dapunta Hyang atau Maharaja, dan  dalam  
lingkaran raja terdapat secara berurutan yuvarāja (putra  mahkota),  
pratiyuvarāja (putra mahkota kedua) dan rājakumāra (pewaris  
berikutnya).  Prasasti Telaga Batu banyak menyebutkan berbagai jabatan  
dalam struktur  pemerintahan kerajaan pada masa Sriwijaya.
 
Warisan sejarah
 
         Meskipun
 Sriwijaya hanya menyisakan sedikit peninggalan arkeologi dan   
terlupakan dari ingatan masyarakat pendukungnya, penemuan kembali   
kemaharajaan bahari ini oleh Coedès pada tahun 1920-an telah   
membangkitkan kesadaran bahwa suatu bentuk persatuan politik raya,   
berupa kemaharajaan yang terdiri atas persekutuan kerajaan-kerajaan   
bahari, pernah bangkit, tumbuh, dan berjaya di masa lalu.
 
Di
 samping Majapahit, kaum nasionalis Indonesia juga mengagungkan   
Sriwijaya sebagai sumber kebanggaan dan bukti kejayaan masa lampau   
Indonesia. Kegemilangan Sriwijaya telah menjadi sumber kebanggaan   
nasional dan identitas daerah, khususnya bagi penduduk kota Palembang,  
 provinsi Sumatera Selatan. Bagi penduduk Palembang, keluhuran Sriwijaya
   telah menjadi inspirasi seni budaya, seperti lagu dan tarian  
tradisional  Gending Sriwijaya. Hal yang sama juga berlaku bagi  
masyarakat selatan  Thailand yang menciptakan kembali tarian Sevichai  
(Sriwijaya) yang  berdasarkan pada keanggunan seni budaya Sriwijaya.
 
          Di
 Indonesia, nama Sriwijaya telah digunakan dan diabadikan sebagai  nama 
 jalan di berbagai kota, dan nama ini telah melekat dengan kota   
Palembang dan Sumatera Selatan. Universitas Sriwijaya yang didirikan   
tahun 1960 di Palembang dinamakan berdasarkan kedatuan Sriwijaya.   
Demikian pula Kodam II Sriwijaya (unit komando militer), PT Pupuk   
Sriwijaya (Perusahaan Pupuk di Sumatera Selatan), Sriwijaya Post (Surat 
  kabar harian di Palembang), Sriwijaya TV, Sriwijaya Air (maskapai   
penerbangan), Stadion Gelora Sriwijaya, dan Sriwijaya Football Club   
(Klab sepak bola Palembang), semua dinamakan demikian untuk menghormati,
   memuliakan, dan merayakan kegemilangan kemaharajaan Sriwijaya.