Selasa, 17 November 2015

SEJARAH KERAJAAN PAJAJARAN

SEJARAH KERAJAAN PAJAJARAN

Kerajaan Pajajaran adalah nama lain dari Kerajaan Sunda saat kerajaan ini beribukota di kota Pajajaran atau Pakuan Pajajaran (Bogor) di Jawa Barat yang terletak di Parahyangan (Sunda). Kata Pakuan sendiri berasal dari kata Pakuwuan yang berarti kota. Pada masa lalu, di Asia Tenggara ada kebiasaan menyebut nama kerajaan dengan nama ibu kotanya. Beberapa catatan menyebutkan bahwa kerajaan ini didirikan tahun 923 oleh Sri Jayabhupati, seperti yang disebutkan dalam Prasasti Sanghyang Tapak (1030 M) di kampung Pangcalikan dan Bantarmuncang, tepi Sungai Cicatih, Cibadak, Suka Bumi.

Awal Pakuan Pajajaran
Seperti tertulis dalam sejarah, akhir tahun 1400-an Majapahit kian melemah. Pemberontakan, saling berebut kekuasaan di antara saudara berkali-kali terjadi. Pada masa kejatuhan Prabu Kertabumi (Brawijaya V) itulah mengalir pula pengungsi dari kerabat Kerajaan Majapahit ke ibukota Kerajaan Galuh di Kawali, Kuningan, Jawa Barat.

Raden Baribin, salah seorang saudara Prabu Kertabumi termasuk di antaranya. Selain diterima dengan damai oleh Raja Dewa Niskala ia bahkan dinikahkan dengan Ratna Ayu Kirana salah seorang putri Raja Dewa Niskala. Tak sampai di situ saja, sang Raja juga menikah dengan salah satu keluarga pengungsi yang ada dalam rombongan Raden Barinbin.

Pernikahan Dewa Niskala itu mengundang kemarahan Raja Susuktunggal dari Kerajaan Sunda. Dewa Niskala dianggap telah melanggar aturan yang seharusnya ditaati. Aturan itu keluar sejak “Peristiwa Bubat” yang menyebutkan bahwa orang Sunda-Galuh dilarang menikah dengan keturunan dari Majapahit.

Nyaris terjadi peperangan di antara dua raja yang sebenarnya adalah besan. Disebut besan karena Jayadewata, putra raja Dewa Niskala adalah menantu dari Raja Susuktunggal.

Untungnya, kemudian dewan penasehat berhasil mendamaikan keduanya dengan keputusan: dua raja itu harus turun dari tahta. Kemudian mereka harus menyerahkan tahta kepada putera mahkota yang ditunjuk.

Dewa Niskala menunjuk Jayadewata, anaknya, sebagai penerus kekuasaan. Prabu Susuktunggal pun menunjuk nama yang sama. Demikianlah, akhirnya Jayadewata menyatukan dua kerajaan itu. Jayadewata yang kemudian bergelar Sri Baduga Maharaja mulai memerintah di Pakuan Pajajaran pada tahun 1482.

Selanjutnya nama Pakuan Pajajaran menjadi populer sebagai nama kerajaan. Awal “berdirinya” Pajajaran dihitung pada tahun Sri Baduga Maharaha berkuasa, yakni tahun 1482.



Sumber Sejarah
Dari catatan-catatan sejarah yang ada, baik dari prasasti, naskah kuno, maupun catatan bangsa asing, dapatlah ditelusuri jejak kerajaan ini; antara lain mengenai wilayah kerajaan dan ibukota Pakuan Pajajaran. Mengenai raja-raja Kerajaan Sunda yang memerintah dari ibukota Pakuan Pajajaran, terdapat perbedaan urutan antara naskah-naskah Babad Pajajaran, Carita Parahiangan, dan Carita Waruga Guru.

Selain naskah-naskah babad, Kerajaan Pajajaran juga meninggalkan sejumlah jejak peninggalan dari masa lalu, seperti:
• Prasasti Batu Tulis, Bogor
• Prasasti Sanghyang Tapak, Sukabumi
• Prasasti Kawali, Ciamis
• Prasasti Rakyan Juru Pangambat
• Prasasti Horren
• Prasasti Astanagede
• Tugu Perjanjian Portugis (padraõ), Kampung Tugu, Jakarta
• Taman perburuan, yang sekarang menjadi Kebun Raya Bogor
• Kitab cerita Kidung Sundayana dan Cerita Parahyangan
• Berita asing dari Tome Pires (1513) dan Pigafetta (1522)

Segi Geografis Kerajaan Pajajaran
Terletak di Parahyangan (Sunda). Pakuan sebagai ibukota Sunda dicacat oleh Tom Peres (1513 M) di dalam “The Suma Oriantal”, ia menyebutkan bahwa ibukota Kerajaan Sunda disebut Dayo (dayeuh) itu terletak sejauh sejauh dua hari perjalanan dari Kalapa (Jakarta).

Kondisi Keseluruhan Kerajaan pajajaran (Kondisi POLISOSBUD), yaitu Kondisi Politik (Politik-Pemerintahan)

Kerajaan Pajajaran terletak di Jawa Barat, yang berkembang pada abad ke 8-16. Raja-raja yang pernah memerintah Kerajaan Pajajaran, antara lain :

Daftar raja Pajajaran
• Sri Baduga Maharaja (1482 – 1521), bertahta di Pakuan (Bogor sekarang)
• Surawisesa (1521 – 1535), bertahta di Pakuan
• Ratu Dewata (1535 – 1543), bertahta di Pakuan
• Ratu Sakti (1543 – 1551), bertahta di Pakuan
• Ratu Nilakendra (1551-1567), meninggalkan Pakuan karena serangan Hasanudin dan anaknya, Maulana Yusuf
• Raga Mulya (1567 – 1579), dikenal sebagai Prabu Surya Kencana, memerintah dari PandeglangMaharaja Jayabhupati (Haji-Ri-Sunda)
• Rahyang Niskala Wastu Kencana
• Rahyang Dewa Niskala (Rahyang Ningrat Kencana)
• Sri Baduga MahaRaja
• Hyang Wuni Sora
• Ratu Samian (Prabu Surawisesa)
• dan Prabu Ratu Dewata.


Puncak Kejayaan/ Keemasan Kerajaan Pajajaran
Kerajaan Pajajaran pada masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja mengalami masa keemasan. Alasan ini pula yang banyak diingat dan dituturkan masyarakat Jawa Barat, seolah-olah Sri Baduga atau Siliwangi adalah Raja yang tak pernah purna, senantiasa hidup abadi dihati dan pikiran masyarakat.

Pembangunan Pajajaran di masa Sri Baduga menyangkut seluruh aspek kehidupan. Tentang pembangunan spiritual dikisahkan dalam Carita Parahyangan.

Sang Maharaja membuat karya besar, yaitu ; membuat talaga besar yang bernama Maharena Wijaya, membuat jalan yang menuju ke ibukota Pakuan dan Wanagiri. Ia memperteguh (pertahanan) ibu kota, memberikan desa perdikan kepada semua pendeta dan pengikutnya untuk menggairahkan kegiatan agama yang menjadi penuntun kehidupan rakyat. Kemudian membuat Kabinihajian (kaputren), kesatriaan (asrama prajurit), pagelaran (bermacam-macam formasi tempur), pamingtonan (tempat pertunjukan), memperkuat angkatan perang, mengatur pemungutan upeti dari raja-raja bawahan dan menyusun undang-undang kerajaan

Pembangunan yang bersifat material tersebut terlacak pula didalam Prasasti Kabantenan dan Batutulis, di kisahkan para Juru Pantun dan penulis Babad, saat ini masih bisa terjejaki, namun tak kurang yang musnah termakan jaman.

Dari kedua Prasasti serta Cerita Pantun dan Kisah-kisah Babad tersebut diketahui bahwa Sri Baduga telah memerintahkan untuk membuat wilayah perdikan; membuat Talaga Maharena Wijaya; memperteguh ibu kota; membuat Kabinihajian, kesatriaan, pagelaran, pamingtonan, memperkuat angkatan perang, mengatur pemungutan upeti dari raja-raja bawahan dan menyusun undang-undang kerajaan

Puncak Kehancuran
Kerajaan Pajajaran runtuh pada tahun 1579 akibat serangan kerajaan Sunda lainnya, yaitu Kesultanan Banten. Berakhirnya zaman Pajajaran ditandai dengan diboyongnya Palangka Sriman Sriwacana (singgahsana raja), dari Pakuan Pajajaran ke Keraton Surosowan di Banten oleh pasukan Maulana Yusuf.

Batu berukuran 200x160x20 cm itu diboyong ke Banten karena tradisi politik agar di Pakuan Pajajaran tidak mungkin lagi dinobatkan raja baru, dan menandakan Maulana Yusuf adalah penerus kekuasaan Sunda yang sah karena buyut perempuannya adalah puteri Sri Baduga Maharaja. Palangka Sriman Sriwacana tersebut saat ini bisa ditemukan di depan bekas Keraton Surosowan di Banten. Masyarakat Banten menyebutnya Watu Gilang, berarti mengkilap atau berseri, sama artinya dengan kata Sriman.

Kondisi Kehidupan Ekonomi
Pada umumnya masyarakat Kerajaan Pajajaran hidup dari pertanian, terutama perladangan. Di samping itu, Pajajaran juga mengembangkan pelayaran dan perdagangan. Kerajaan Pajajaran memiliki enam pelabuhan penting, yaitu Pelabuhan Banten, Pontang, Cigede, Tamgara, Sunda Kelapa (Jakarta), dan Cimanuk (Pamanukan)

Kondisi Kehidupan Sosial
Kehidupan masyarakat Pajajaran dapat di golongan menjadi golongan seniman (pemain gamelan, penari, dan badut), golongan petani, golongan perdagangan, golongan yang di anggap jahat (tukang copet, tukang rampas, begal, maling, prampok, dll)

Kehidupan Budaya
Kehidupan budaya masyarakat Pajajaran sangat di pengaruhi oleh agama Hindu. Peninggalan-peninggalannya berupa kitab Cerita Parahyangan dan kitab Sangyang Siksakanda, prasasti-prasasti, dan jenis-jenis batik.

Kesimpulan
• Kerajaan Pajajaran adalah nama lain dari Kerajaan Sunda saat kerajaan ini beribukota di kota Pajajaran atau Pakuan Pajajaran (Bogor) di Jawa Barat yang terletak di Parahyangan (Sunda).
• Sumber sejarahnya berupa prasati-prasati, tugu perjanjian, taman perburuan, kitab cerita, dan berita asing.
• Kerajaan Pajajaran pada masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja mengalami masa keemasan/ kejayaan dan Kerajaan Pajajaran runtuh pada tahun 1579 akibat serangan kerajaan Sunda lainnya, yaitu Kesultanan Banten.


Senin, 16 November 2015

SEJARAH KERAJAAN KUTAI

kerajaan kutai

Hasil gambar untuk gambaran kerajaan kutai berdasarkan yupa

Kerajaan Kutai (Kutai Martadipura) adalah kerajaan bercorak hindu yang terletak di muara Kaman, Kalimantan Timur, tepatnya di hulu Sungai Mahakam. Kerajaan Kutai berdiri sekitar abad ke-4. Nama kerajaan ini disesuaikan dengan nama daerah tempat penemuan prasasti, yaitu daerah Kutai. Hal ini disebabkan, karena setiap prasasti yang ditemukan tidak ada yang menyebutkan nama dari kerajaan tersebut. Wilayah Kerajaan Kutai mencakup wilayah yang cukup luas, yaitu hampir menguasai seluruh wilayah Kalimantan Timur. Bahkan pada masa kejayaannya Kerajaan Kutai hampir manguasai sebagian wilayah Kalimantan.

a. Sumber Sejarah
   
     Sumber yang mengatakan bahwa di Kalimantan telah berdiri dan berkembang Kerajaan Kutai yang bercorak Hindu adalah beberapa penemuan peninggalan berupa tulisan (prasasti). Tulisan itu ada pada tujuh tiang batu yang disebut yupa. Yupa tersebut adalah tugu batu yang berfungsi sebagai tiang untuk menambat hewan yang akan dikorbankan. Dari salah satu yupa tersebut diketahui Raja Mulawarman yang memerintah Kerajaan Kutai pada saat itu. Nama Mulawarman dicatat dalam yupa karena kedermawanannya menyedekahkan 20.000 ekor sapi pada Kaum Brahmana.


b. Kehidupan Politik

     Sejak muncul dan berkembangnya pengaruh hindu (India) di Kalimantan Timur, terjadi perubahan dalam kepemerintahan, yaitu dari pemerintahan suku dengan kepala suku yang memerintah menjadi kerajaan dengan seorang raja sebagai kepala pemerintahan. Berikut beberapa raja yang pernah memerintah Kerajaan Kutai:

- Raja Kudungga
     Adalah raja pertama yang berkuasa di kerajaan kutai. Dapat kita lihat, nama raja tersebut masih menggunakan nama lokal sehingga para ahli berpendapat bahwa pada masa pemerintahan Raja Kudungga pengaruh Hindu baru masuk ke wilayahnya. Kedudukan Raja Kudungga pada awalnya adalah kepala suku. Dengan masuknya pengaruh Hindu, ia mengubah struktur pemerintahannya menjadi kerajaan dan mengangkat dirinya sebagai raja, sehingga penggantian raja dilakukan secara turun temurun.

- Raja Aswawarman
     Prasasti yupa menceritakan bahwa Raja Aswawarman adalah raja yang cakap dan kuat. Pada masa pemerintahannya, wilayah kekuasaan Kutai diperluas lagi. Hal ini dibuktikan dengan dilakukannya Upacara Asmawedha pada masanya. Upacara-upacara ini pernah dilakukan di India pada masa pemerintahan Raja Samudragupta ketika ingin memperluas wilayahnya. Dalam upacara itu dilaksanakan pelepasan kuda dengan tujuan untuk menentukan batas kekuasaan Kerajaan Kutai ( ditentukan dengan tapak kaki kuda yang nampak pada tanah hingga tapak yang terakhir nampak disitulah batas kekuasaan Kerajaan Kutai ). Pelepasan kuda-kuda itu diikuti oleh prajurit Kerajaan Kutai.

-Raja Mulawarman
      Raja Mulawarman merupakan anak dari Raja Aswawarman yang menjadi penerusnya. Raja Mulawarman adalah raja terbesar dari Kerajaan Kutai. Di bawah pemerintahannya, Kerajaan Kutai mengalami masa kejayaannya. Rakyat-rakyatnya hidup tentram dan sejahtera hingga Raja Mulawarman mengadakan upacara kurban emas yang amat banyak.

c. Runtuhnya Kerajaan Kutai

          Kerajaan Kutai runtuh saat raja Kerajaan Kutai terakhir yang bernama Maharaja Dharma Setia tewas di tangan Raja Kutai Kartanegara ke-13, Aji Pangeran Anum Panji Mendapa. Kerajaan Kutai Kartanegara selanjutnya menjadi Kerajaan Islam yang bernama Kesultanan Kutai Kartanegara.


Rabu, 11 November 2015

Sejarah Lengkap Kerajaan Sriwijaya | Sejarah Indonesia

Sejarah Kerajaan Sriwijaya

         
         Kerajaan Sriwijaya (atau juga disebut Srivijaya) adalah salah satu kemaharajaan maritim yang kuat di pulau Sumatera dan banyak memberi pengaruh di Nusantara dengan daerah kekuasaan membentang dari Kamboja, Thailand, Semenanjung Malaya, Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi. Dalam bahasa Sansekerta, sri berarti “bercahaya” dan wijaya berarti “kemenangan”.

         Bukti awal mengenai keberadaan kerajaan ini berasal dari abad ke-7; seorang pendeta Tiongkok, I Tsing, menulis bahwa ia mengunjungi Sriwijaya tahun 671 dan tinggal selama 6 bulan. Prasasti yang paling tua mengenai Sriwijaya juga berada pada abad ke-7, yaitu prasasti Kedukan Bukit di Palembang, bertarikh 682. Kemunduran pengaruh Sriwijaya terhadap daerah bawahannya mulai menyusut dikarenakan beberapa peperangan diantaranya serangan dari raja Dharmawangsa Teguh dari Jawa di tahun 990, dan tahun 1025 serangan Rajendra Chola I dari Koromandel, selanjutnya tahun 1183 kekuasaan Sriwijaya dibawah kendali kerajaan Dharmasraya.
        Setelah Sriwijaya jatuh, kerajaan ini terlupakan dan eksistensi Sriwijaya baru diketahui secara resmi tahun 1918 oleh sejarawan Perancis George Cœdès dari École française d’Extrême-Orient.
Historiografi
        Tidak terdapat catatan lebih lanjut mengenai Sriwijaya dalam sejarah Indonesia; masa lalunya yang terlupakan dibentuk kembali oleh sarjana asing. Tidak ada orang Indonesia modern yang mendengar mengenai Sriwijaya sampai tahun 1920-an, ketika sarjana Perancis George Cœdès mempublikasikan penemuannya dalam koran berbahasa Belanda dan Indonesia. Coedès menyatakan bahwa referensi Tiongkok terhadap “San-fo-ts’i”, sebelumnya dibaca “Sribhoja”, dan beberapa prasasti dalam Melayu Kuno merujuk pada kekaisaran yang sama.
         Sriwijaya menjadi simbol kebesaran Sumatera awal, dan kerajaan besar Nusantara selain Majapahit di Jawa Timur. Pada abad ke-20, kedua kerajaan tersebut menjadi referensi oleh kaum nasionalis untuk menunjukkan bahwa Indonesia merupakan satu kesatuan negara sebelelum kolonialisme Belanda.
Sriwijaya disebut dengan berbagai macam nama. Orang Tionghoa menyebutnya Shih-li-fo-shih atau San-fo-ts’i atau San Fo Qi. Dalam bahasa Sansekerta dan Pali, kerajaan Sriwijaya disebut Yavadesh dan Javadeh. Bangsa Arab menyebutnya Zabaj dan Khmer menyebutnya Malayu. Banyaknya nama merupakan alasan lain mengapa Sriwijaya sangat sulit ditemukan. Sementara dari peta Ptolemaeus ditemukan keterangan tentang adanya 3 pulau Sabadeibei yang kemungkinan berkaitan dengan Sriwijaya.
        Sekitar tahun 1993, Pierre-Yves Manguin melakukan observasi dan berpendapat bahwa pusat Sriwijaya berada di Sungai Musi antara Bukit Seguntang dan Sabokingking (terletak di provinsi Sumatera Selatan sekarang). Namun sebelumnya Soekmono berpendapat bahwa pusat Sriwijaya terletak pada kawasan sehiliran Batang Hari, antara Muara Sabak sampai ke Muara Tembesi (di provinsi Jambi sekarang), dengan catatan Malayu tidak di kawasan tersebut, jika Malayu pada kawasan tersebut, ia cendrung kepada pendapat Moens, yang sebelumnya juga telah berpendapat bahwa letak dari pusat kerajaan Sriwijaya berada pada kawasan Candi Muara Takus (provinsi Riau sekarang), dengan asumsi petunjuk arah perjalanan dalam catatan I Tsing, serta hal ini dapat juga dikaitkan dengan berita tentang pembangunan candi yang dipersembahkan oleh raja Sriwijaya (Se li chu la wu ni fu ma tian hwa atau Sri Cudamaniwarmadewa) tahun 1003 kepada kaisar Cina yang dinamakan cheng tien wan shou (Candi Bungsu, salah satu bagian dari candi yang terletak di Muara Takus). Namun yang pasti pada masa penaklukan oleh Rajendra Chola I, berdasarkan prasasti Tanjore, Sriwijaya telah beribukota di Kadaram (Kedah sekarang).
Pembentukan dan pertumbuhan
        Belum banyak bukti fisik mengenai Sriwijaya yang dapat ditemukan. Kerajaan ini menjadi pusat perdagangan dan merupakan negara maritim, namun kerajaan ini tidak memperluas kekuasaannya di luar wilayah kepulauan Asia Tenggara, dengan pengecualian berkontribusi untuk populasi Madagaskar sejauh 3.300 mil di barat. Beberapa ahli masih memperdebatkan kawasan yang menjadi pusat pemerintahan Sriwijaya, selain itu kemungkinan kerajaan ini biasa memindahkan pusat pemerintahannya, namun kawasan yang menjadi ibukota tetap diperintah secara langsung oleh penguasa, sedangkan daerah pendukungnya diperintah oleh datu setempat.
         
         Kekaisaran Sriwijaya telah ada sejak 671 sesuai dengan catatan I Tsing, dari prasasti Kedukan Bukit pada tahun 682 di diketahui imperium ini di bawah kepemimpinan Dapunta Hyang. Di abad ke-7 ini, orang Tionghoa mencatat bahwa terdapat dua kerajaan yaitu Malayu dan Kedah menjadi bagian kemaharajaan Sriwijaya. Berdasarkan prasasti Kota Kapur yang yang berangka tahun 686 ditemukan di pulau Bangka, kemaharajaan ini telah menguasai bagian selatan Sumatera, pulau Bangka dan Belitung, hingga Lampung. Prasasti ini juga menyebutkan bahwa Sri Jayanasa telah melancarkan ekspedisi militer untuk menghukum Bhumi Jawa yang tidak berbakti kepada Sriwijaya, peristiwa ini bersamaan dengan runtuhnya Tarumanagara di Jawa Barat dan Holing (Kalingga) di Jawa Tengah yang kemungkinan besar akibat serangan Sriwijaya. Sriwijaya tumbuh dan berhasil mengendalikan jalur perdagangan maritim di Selat Malaka, Selat Sunda, Laut China Selatan, Laut Jawa, dan Selat Karimata.
         Ekspansi kerajaan ini ke Jawa dan Semenanjung Malaya, menjadikan Sriwijaya mengontrol dua pusat perdagangan utama di Asia Tenggara. Berdasarkan observasi, ditemukan reruntuhan candi-candi Sriwijaya di Thailand dan Kamboja. Di abad ke-7, pelabuhan Cham di sebelah timur Indochina mulai mengalihkan banyak pedagang dari Sriwijaya. Untuk mencegah hal tersebut, Maharaja Dharmasetu melancarkan beberapa serangan ke kota-kota pantai di Indochina. Kota Indrapura di tepi sungai Mekong, di awal abad ke-8 berada di bawah kendali Sriwijaya. Sriwijaya meneruskan dominasinya atas Kamboja, sampai raja Khmer Jayawarman II, pendiri imperium Khmer, memutuskan hubungan dengan Sriwijaya di abad yang sama. Di akhir abad ke-8 beberapa kerajaan di Jawa, antara lain Tarumanegara dan Holing berada di bawah kekuasaan Sriwijaya. Menurut catatan, pada masa ini pula wangsa Sailendra bermigrasi ke Jawa Tengah dan berkuasa disana. Di abad ini pula, Langkasuka di semenanjung Melayu menjadi bagian kerajaan. Di masa berikutnya, Pan Pan dan Trambralinga, yang terletak di sebelah utara Langkasuka, juga berada di bawah pengaruh Sriwijaya.
       Setelah Dharmasetu, Samaratungga menjadi penerus kerajaan. Ia berkuasa pada periode 792 sampai 835. Tidak seperti Dharmasetu yang ekspansionis, Samaratungga tidak melakukan ekspansi militer, tetapi lebih memilih untuk memperkuat penguasaan Sriwijaya di Jawa. Selama masa kepemimpinannya, ia membangun candi Borobudur di Jawa Tengah yang selesai pada tahun 825.
Agama dan Budaya
         Sebagai pusat pengajaran Buddha Vajrayana, Sriwijaya menarik banyak peziarah dan sarjana dari negara-negara di Asia. Antara lain pendeta dari Tiongkok I Tsing, yang melakukan kunjungan ke Sumatera dalam perjalanan studinya di Universitas Nalanda, India, pada tahun 671 dan 695, serta di abad ke-11, Atisha, seorang sarjana Buddha asal Benggala yang berperan dalam mengembangkan Buddha Vajrayana di Tibet. I Tsing melaporkan bahwa Sriwijaya menjadi rumah bagi sarjana Buddha sehingga menjadi pusat pembelajaran agama Buddha. Pengunjung yang datang ke pulau ini menyebutkan bahwa koin emas telah digunakan di pesisir kerajaan. Selain itu ajaran Buddha aliran Buddha Hinayana dan Buddha Mahayana juga turut berkembang di Sriwijaya.
        Kerajaan Sriwijaya banyak dipengaruhi budaya India, pertama oleh budaya Hindu kemudian diikuti pula oleh agama Buddha. Raja-raja Sriwijaya menguasai kepulauan Melayu melalui perdagangan dan penaklukkan dari kurun abad ke-7 hingga abad ke-9, sehingga secara langsung turut serta mengembangkan bahasa Melayu beserta kebudayaannya di Nusantara.
        Sangat dimungkinkan bahwa Sriwijaya yang termahsyur sebagai bandar pusat perdagangan di Asia Tenggara, tentunya menarik minat para pedagang dan ulama muslim dari Timur Tengah. Sehingga beberapa kerajaan yang semula merupakan bagian dari Sriwijaya, kemudian tumbuh menjadi cikal-bakal kerajaan-kerajaan Islam di Sumatera kelak, disaat melemahnya pengaruh Sriwijaya.
        Ada sumber yang menyebutkan, karena pengaruh orang muslim Arab yang banyak berkunjung di Sriwijaya, maka raja Sriwijaya yang bernama Sri Indrawarman masuk Islam pada tahun 718. Sehingga sangat dimungkinkan kehidupan sosial Sriwijaya adalah masyarakat sosial yang di dalamnya terdapat masyarakat Budha dan Muslim sekaligus. Tercatat beberapa kali raja Sriwijaya berkirim surat ke khalifah Islam di Suriah. Pada salah satu naskah surat yang ditujukan kepada khalifah Umar bin Abdul Aziz (717-720M) berisi permintaan agar khalifah sudi mengirimkan da’i ke istana Sriwijaya.
Perdagangan
         Di dunia perdagangan, Sriwijaya menjadi pengendali jalur perdagangan antara India dan Tiongkok, yakni dengan penguasaan atas selat Malaka dan selat Sunda. Orang Arab mencatat bahwa Sriwijaya memiliki aneka komoditi seperti kapur barus, kayu gaharu, cengkeh, pala, kepulaga, gading, emas, dan timah yang membuat raja Sriwijaya sekaya raja-raja di India. Kekayaan yang melimpah ini telah memungkinkan Sriwijaya membeli kesetiaan dari vassal-vassalnya di seluruh Asia Tenggara.
        Pada paruh pertama abad ke-10, diantara kejatuhan dinasti Tang dan naiknya dinasti Song, perdagangan dengan luar negeri cukup marak, terutama Fujian, kerajaan Min dan negeri kaya Guangdong, kerajaan Nan Han. Tak diragukan lagi Sriwijaya mendapatkan keuntungan dari perdagangan ini.
Relasi dengan kekuatan regional
        Untuk memperkuat posisinya atas penguasaan pada kawasan di Asia Tenggara, Sriwijaya menjalin hubungan diplomasi dengan kekaisaran China, dan secara teratur mengantarkan utusan beserta upeti.
Pada masa awal kerajaan Khmer merupakan daerah jajahan Sriwijaya. Banyak sejarawan mengklaim bahwa Chaiya, di propinsi Surat Thani, Thailand Selatan, sebagai ibu kota kerajaan tersebut, pengaruh Sriwijaya nampak pada bangunan pagoda Borom That yang bergaya Sriwijaya. Setelah kejatuhan Sriwijaya, Chaiya terbagi menjadi tiga kota yakni (Mueang) Chaiya, Thatong (Kanchanadit), dan Khirirat Nikhom.
          Sriwijaya juga berhubungan dekat dengan kerajaan Pala di Benggala, pada prasasti Nalanda berangka 860 mencatat bahwa raja Balaputradewa mendedikasikan sebuah biara kepada Universitas Nalanda. Relasi dengan dinasti Chola di selatan India juga cukup baik, dari prasasti Leiden disebutkan raja Sriwijaya telah membangun sebuah vihara yang dinamakan dengan Vihara Culamanivarmma, namun menjadi buruk setelah Rajendra Chola I naik tahta yang melakukan penyerangan di abad ke-11. Kemudian hubungan ini kembali membaik pada masa Kulothunga Chola I, di mana raja Sriwijaya di Kadaram mengirimkan utusan yang meminta dikeluarkannya pengumuman pembebasan cukai pada kawasan sekitar Vihara Culamanivarmma tersebut. Namun demikian pada masa ini Sriwijaya dianggap telah menjadi bahagian dari dinasti Chola, dari kronik Tiongkok menyebutkan bahwa Kulothunga Chola I (Ti-hua-ka-lo) sebagai raja San-fo-ts’i membantu perbaikan candi dekat Kanton pada tahun 1079, pada masa dinasti Song candi ini disebut dengan nama Tien Ching Kuan dan pada masa dinasti Yuan disebut dengan nama Yuan Miau Kwan.
Masa keemasan
          Kemaharajaan Sriwijaya bercirikan kerajaan maritim, mengandalkan hegemoni pada kekuatan armada lautnya dalam menguasai alur pelayaran, jalur perdagangan, menguasai dan membangun beberapa kawasan strategis sebagai pangkalan armadanya dalam mengawasi, melindungi kapal-kapal dagang, memungut cukai serta untuk menjaga wilayah kedaulatan dan kekuasaanya.
            Dari catatan sejarah dan bukti arkeologi, pada abad ke-9 Sriwijaya telah melakukan kolonisasi di hampir seluruh kerajaan-kerajaan Asia Tenggara, antara lain: Sumatera, Jawa, Semenanjung Malaya, Thailand, Kamboja, Vietnam, dan Filipina. Dominasi atas Selat Malaka dan Selat Sunda, menjadikan Sriwijaya sebagai pengendali rute perdagangan rempah dan perdagangan lokal yang mengenakan biaya atas setiap kapal yang lewat. Sriwijaya mengakumulasi kekayaannya sebagai pelabuhan dan gudang perdagangan yang melayani pasar Tiongkok, dan India.
          Sriwijaya juga disebut berperan dalam menghancurkan kerajaan Medang di Jawa, dalam prasasti Pucangan disebutkan sebuah peristiwa Mahapralaya yaitu peristiwa hancurnya istana Medang di Jawa Timur, di mana Haji Wurawari dari Lwaram yang kemungkinan merupakan raja bawahan Sriwijaya, pada tahun 1006 atau 1016 menyerang dan menyebabkan terbunuhnya raja Medang terakhir Dharmawangsa Teguh.
Penurunan
         Tahun 1017 dan 1025, Rajendra Chola I, raja dari dinasti Chola di Koromandel, India selatan, mengirim ekspedisi laut untuk menyerang Sriwijya, berdasarkan prasasti Tanjore bertarikh 1030, kerajaan Chola telah menaklukan daerah-daerah koloni Sriwijaya, sekaligus berhasil menawan raja Sriwijaya yang berkuasa waktu itu. Selama beberapa dekade berikutnya seluruh imperium Sriwijaya telah berada dalam pengaruh dinasti Chola. Meskipun demikian Rajendra Chola I tetap memberikan peluang kepada raja-raja yang ditaklukannya untuk tetap berkuasa selama tetap tunduk kepadanya. Hal ini dapat dikaitkan dengan adanya berita utusan San-fo-ts’i ke Cina tahun 1028.
          Antara tahun 1079 – 1088, kronik Tionghoa mencatat bahwa San-fo-ts’i masih mengirimkan utusan dari Jambi dan Palembang. Dalam berita Cina yang berjudul Sung Hui Yao disebutkan bahwa kerajaan San-fo-tsi pada tahun 1082 mengirimkan utusan pada masa Cina di bawah pemerintahan Kaisar Yuan Fong. Duta besar tersebut menyampaikan surat dari raja Kien-pi bawahan San-fo-tsi, yang merupakan surat dari putri raja yang diserahi urusan negara San-fo-tsi, serta menyerahkan pula 227 tahil perhiasan, rumbia, dan 13 potong pakaian. Kemudian juga mengirimankan utusan berikutnya di tahun 1088. Namun akibat invasi Rajendra Chola I, hegemoni Sriwijaya atas raja-raja bawahannya melemah, beberapa daerah taklukan melepaskan diri, sampai muncul Dharmasraya sebagai kekuatan baru yang kemudian menguasai kembali wilayah jajahan Sriwijaya mulai dari kawasan Semenanjung Malaya, Sumatera, sampai Jawa bagian barat.
           Berdasarkan sumber Tiongkok pada buku Chu-fan-chi yang ditulis pada tahun 1178, Chou-Ju-Kua menerangkan bahwa di kepulauan Asia Tenggara terdapat dua kerajaan yang sangat kuat dan kaya, yakni San-fo-ts’i dan Cho-po (Jawa). Di Jawa dia menemukan bahwa rakyatnya memeluk agama Budha dan Hindu, sedangkan rakyat San-fo-ts’i memeluk Budha, dan memiliki 15 daerah bawahan yang meliputi; Si-lan (Kamboja), Tan-ma-ling (Tambralingga, Ligor, selatan Thailand), Kia-lo-hi (Grahi, Chaiya sekarang, selatan Thailand), Ling-ya-si-kia (Langkasuka), Kilantan (Kelantan), Pong-fong (Pahang), Tong-ya-nong (Terengganu), Fo-lo-an (muara sungai Dungun daerah Terengganu sekarang), Ji-lo-t’ing (Cherating, pantai timur semenanjung malaya), Ts’ien-mai (Semawe, pantai timur semenanjung malaya), Pa-t’a (Sungai Paka, pantai timur Semenanjung Malaya), Lan-wu-li (Lamuri di Aceh), Pa-lin-fong (Palembang), Kien-pi (Jambi), dan Sin-t’o (Sunda).
         Namun demikian, istilah San-fo-tsi terutama pada tahun 1178 tidak lagi identik dengan Sriwijaya, melainkan telah identik dengan Dharmasraya, dari daftar 15 negeri bawahan San-fo-tsi tersebut merupakan daftar jajahan kerajaan Dharmasraya, walaupun sumber Tiongkok tetap menyebut San-fo-tsi sebagai kerajaan yang berada di kawasan laut Cina Selatan. Hal ini karena dalam Pararaton telah menyebutkan Malayu, disebutkan Kertanagara raja Singhasari mengirim sebuah ekspedisi Pamalayu atau Pamalayu, dan kemudian menghadiahkan Arca Amoghapasa kepada raja Melayu, Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa di Dharmasraya sebagaimana yang tertulis pada prasasti Padang Roco. Peristiwa ini kemudian dikaitkan dengan manuskrip yang terdapat pada prasasti Grahi. Begitu juga dalam Nagarakretagama, yang menguraikan tentang daerah jajahan Majapahit juga sudah tidak menyebutkan lagi nama Sriwijaya untuk kawasan yang sebelumnya merupakan kawasan Sriwijaya.
Struktur pemerintahan
         Pembentukan satu negara kesatuan dalam dimensi struktur otoritas politik Sriwijaya, dapat dilacak dari beberapa prasasti yang mengandung informasi penting tentang kadātuan, vanua, samaryyāda, mandala dan bhūmi.
          Kadātuan dapat bermakna kawasan dātu, (tnah rumah) tempat tinggal bini hāji, tempat disimpan mas dan hasil cukai (drawy) sebagai kawasan yang mesti dijaga. Kadātuan ini dikelilingi oleh vanua, yang dapat dianggap sebagai kawasan kota dari Sriwijaya yang didalamnya terdapat vihara untuk tempat beribadah bagi masyarakatnya. Kadātuan dan vanua ini merupakan satu kawasan inti bagi Sriwijaya itu sendiri. Menurut Casparis, samaryyāda merupakan kawasan yang berbatasan dengan vanua, yang terhubung dengan jalan khusus (samaryyāda-patha) yang dapat bermaksud kawasan pedalaman. Sedangkan mandala merupakan suatu kawasan otonom dari bhūmi yang berada dalam pengaruh kekuasaan kadātuan Sriwijaya.
         Penguasa Sriwijaya disebut dengan Dapunta Hyang atau Maharaja, dan dalam lingkaran raja terdapat secara berurutan yuvarāja (putra mahkota), pratiyuvarāja (putra mahkota kedua) dan rājakumāra (pewaris berikutnya). Prasasti Telaga Batu banyak menyebutkan berbagai jabatan dalam struktur pemerintahan kerajaan pada masa Sriwijaya.
Warisan sejarah
         Meskipun Sriwijaya hanya menyisakan sedikit peninggalan arkeologi dan terlupakan dari ingatan masyarakat pendukungnya, penemuan kembali kemaharajaan bahari ini oleh Coedès pada tahun 1920-an telah membangkitkan kesadaran bahwa suatu bentuk persatuan politik raya, berupa kemaharajaan yang terdiri atas persekutuan kerajaan-kerajaan bahari, pernah bangkit, tumbuh, dan berjaya di masa lalu.
Di samping Majapahit, kaum nasionalis Indonesia juga mengagungkan Sriwijaya sebagai sumber kebanggaan dan bukti kejayaan masa lampau Indonesia. Kegemilangan Sriwijaya telah menjadi sumber kebanggaan nasional dan identitas daerah, khususnya bagi penduduk kota Palembang, provinsi Sumatera Selatan. Bagi penduduk Palembang, keluhuran Sriwijaya telah menjadi inspirasi seni budaya, seperti lagu dan tarian tradisional Gending Sriwijaya. Hal yang sama juga berlaku bagi masyarakat selatan Thailand yang menciptakan kembali tarian Sevichai (Sriwijaya) yang berdasarkan pada keanggunan seni budaya Sriwijaya.
          Di Indonesia, nama Sriwijaya telah digunakan dan diabadikan sebagai nama jalan di berbagai kota, dan nama ini telah melekat dengan kota Palembang dan Sumatera Selatan. Universitas Sriwijaya yang didirikan tahun 1960 di Palembang dinamakan berdasarkan kedatuan Sriwijaya. Demikian pula Kodam II Sriwijaya (unit komando militer), PT Pupuk Sriwijaya (Perusahaan Pupuk di Sumatera Selatan), Sriwijaya Post (Surat kabar harian di Palembang), Sriwijaya TV, Sriwijaya Air (maskapai penerbangan), Stadion Gelora Sriwijaya, dan Sriwijaya Football Club (Klab sepak bola Palembang), semua dinamakan demikian untuk menghormati, memuliakan, dan merayakan kegemilangan kemaharajaan Sriwijaya.

kerajaan Majapahit


1. Majapahit dimasa Kejayaan
Kita telah mengenal kerajaan Majapahit sebagai salahsatu kerajaan besar di Indonesia pada masa lampau. Kerajaan ini telah mencapai puncak kebesarannya dan keemasannya pada abad XIV, yaitu pada masa pemerintahan raja Hayam Wuruk. pada masa itu, kekuasaan dan kebesaran kerajaan Majapahit Sangat luas. Kerajaan ini memiliki pengaruh di seluruh nusantara, bahkan terhadap Negara-negara tetangganya di Asia Tenggara (Hasan Djafar, 2009 : 2).
Pada tahun 1894, belanda menyerang Puri Cakranegara di Bali. Raja dibunuh, Puri dibakar, Rakyat dihabisi dan harta emas kekayaan dirampok. Salah satu benda yang dirampok adalah satu naskah kuno dari tahun 1365, yakni kitab Negara Kertagama karangan Empu Prapanca. Kitab ini menceritakan kemegahan negeri Majapahit ketika raja prabu Hayam Wuruk dan patih Gajah Mada berkuasa. Kitab ini merupakan intan berkilauan dalam perpustakaan kita karena berasal dari kerajaan Indonesia kuno, ketika matahari kebesaran nusantara bersinar terang (Purwadi, 2010:143).
Kerajaan Majapahit pada masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk telah mencapai puncak keemasannya. Dari pemberitaan Prapanca di dalam kakawin Nagarakertagama, kita mengetahui pada zaman Hayam Wuruk daerah-daerah yang ada di bawah pengaruh kekuasaan Majapahit Sangat luas (I Ketut Riana, 2009:96-110). Daerah-daerah pengaruh kekuasaan Majapahit ini meliputi hampir seluas Negara Indonesia sekarang, yaitu dari daerah-daerah di pulau Sumatera di bagian barat sampai ke daerah-daerah di Maluku di bagian timur. Bahkan pada waktu itu pengaruh Majapahit meluas sampai ke negara-negara tetangganya di Asia Tenggara yang dijalin dalam bentuk persahabatan yang setara (Hasan Djafar, 2009 : 46).
Setelah berada di bawah kekuasaan raja-raja penggantinya, kerajaan Majapahit berangsur-angsur mulai mengalami masa kesuramannya. Kebesaran dan kekuasaan kerajaan Majapahit berangsur-angsur mulai hilang. Akhirnya, kerajaan Majapahit runtuh. Namun demikian, bersamaan dengan berlangsungnya proses keruntuhan kerajaan Majapahit muncul kekuatan-kekuatan baru di daerah pesisir utara Jawa tengah dan Jawa timur. Kekuatan-kekuatan baru ini secara bertahap dapat menggantikan peranan dan kedudukan kerajaan Majapahit (Hasan Djafar, 2009 : 46).
Luas daerah-daerah pengaruh kekuasaan Majapahit di Nusantara tersebut dikuatkan oleh pernyataan yang dikemukakan Tome Pires dalam tulisannya Suma Oriental pada 1512-1515. di dalam Suma Oriental tersebut, Tome Pires membuat sebuah pernyataan bahwa sampai kira-kira awal abad XV pengaruh Majapahit masih menguasai hamper seluruh nusantara (Hasan Djafar, 2009 : 47).
Kita harus mengakui bahwa Majapahit pada waktu itu merupakan sebuah kerajaan besar dengan basis ekonominya yang bersifat agraris semi-komersial. Pengaruhnya –setidak-tidaknya pengaruh kultural- cukup luas tersebar. Pada waktu itu, penguasa-penguasa Majapahit telah berhasil sepenuhnya menegakan kesatuan politik dalam satu wilayah yang luasnya belum pernah terjadi pada masa-masa sebelumnya (Sartono Kartodirdjo, 1969:11).
Seperti tercermin dalam Kakawin Nagarakertagama (I Ketut Riana, 2010), hubungan yang terjalin dengan kerajaan-kerajaan lain di nusantara merupakan hubungan kerjasama regional yang saling menguntungkan. Majapahit sebagai kerajaan agraris yang semi komersial berkepentingan untuk memperoleh komoditas perdagangan dan daerah pemasaran produk agrarisnya. Dengan demikian, Majapahit sebagai negeri adikuasa berkewajiban untuk melindungi daerah-daerah di Nusantara tersebut untuk menjaga kestabilan regional, khususnya di bidang sosial-ekonomi (Hasan Djafar, 2009 : 48-49).
Dalam kompleks historis yang tercakup dalam lingkungan pengaruh Sriwijaya, meskipun masuk wilayah supremasi Majapahit, perkembangan seperti tersebut diatas terjadi. Dalam pemberitaan mengenai perjalanannya, Marco polo juga menyebut Tumasik dan Samudra Pasai sebagai kerajaan yang mengakui kekuasaan Majapahit. Juga Ibnu Batuta telah menyebut Samudra Pasai itu (Sartono Kartodirjo, 1987 : 3).
Di antara kerajaan-kerajaan kuno di Indonesia, Majapahit merupakan satu-satunya kerajaan yang dapat kita ketahui susunan pemerintahannya dengan agak lengkap. Hal ini sebenarnya hanya merupakan sebagian saja dari seluruh periode sejarah Majapahit, yaitu dari masa pemerintahan Hayam Wuruk (Hasan Djafar, 2009 : 51).
Pada masa pemerintahan Hayam Wuruk Majapahit telah mencapai puncak keemasan dan kejayaannya. Pada masa itu, Majapahit telah memiliki bentuk pemerintahan yang teratur dan stabil. Adapun untuk masa sesudahnya, khususnya menjelang saat keruntuhannya, kita tidak banyak mempunyai bahan-bahan yang dapat dipakai untuk mengetahui gambaran tentang bentuk dan susunan pemerintahan di Majapahit. Akan tetapi dari bahan-bahan yang ada, ––yang jumlahnya Sangat sedikit–– kita masih dapat menyimpulkan bahwa bentuk dan susunan pemerintahan di kerajaan Majapahit pada masa-masa sesudah zaman keemasan tidak banyak berubah. Oleh karena itu, kita mengatakan dan membayangkan bahwa struktur politik pada umumnya di kerajaan Majapahit menjelang saat keruntuhannya tidak jauh berbeda keadaanya dengan jaman sebelumnya (Hasan Djafar, 2009 : 51).
Berita tradisi menyebutkan bahwa kerajaan Majapahit pada tahun 1400 saka (sirna ilang kertaning bumi). Keruntuhan itu disebabkan karena serangan Demak. Tetapi berdasarkan bukti-bukti arkeologis yang sampai kepada kita dapat diketahui, bahwa pada waktu itu kerajaan Majapahit belum runtuh bahkan masih berdiri untuk beberapa lamanya lagi. Prasasti-prasasti batu yang berasal dari tahun 1408 saka (1486 M) membuktikan bahwa pada waktu itu kerajaan Majapahit masih berdiri. Di dalam prasasti-prasasti itu disebutkan, rajanya bernama Dyah Ranawijaya Girindra-wardhana (Sartono Kartodirdjo.dkk, 1987 : 274).
Berita Cina yang berasal dari dinasti ming masih menyebut adanya hubungan diplomati antara Cina dan Jawa (Majapahit) pada tahun 1499. Sedangkan dari berita-berita Portugis dan Italia yang berasal dari permulaan abad ke 16 dapat disimpulkan pula, bahwa pada waktu itu kerajaan Majapahit masih ada (Sartono Kartodirdjo.dkk, 1987: 275).
Seperti dikemukakan diatas, berdasarkan berita-berita Portugis dan Italia, pada permulaan abad 16 kerajaan Majapahit masih berdiri. Berita Portugis yang berasal dari tahun 1514 dan berita Italia yang berasal dari tahun 1918 masih menyebutkan adanya kerajaan hindu (Majapahit) di Jawa. Akan tetapi, berita dari penulis Italia Antonia Pigafetta yang berasal dari tahun 1522 memberikan kesan, bahwa pada waktu itu kerajaan Majapahit sudah tidak ada dalam pemberitaannya mengenai keadaan di Jawa ia mengemukakan bahwa pada tahun 1522 Majapahit hanya disebutkan sebagai sebuah kota saja, tidak sebagai sebuah kerajaan. Lebih jauh lagi di dalam pemberitaannya mengenai kerajaan di Jawa ia mengemukakan itu Pigafetta menyebutkan pula nama Pati Unus sebagai raja Majapahit, ketika ia masih hidup (Sartono Kartodirjo, 1987 : 10).
2. Masa Akhir Kejayaan Majapahit
Di kerajaan Majapahit, ketika Hayam Wuruk dengan patih Gajah Mada masih berkuasa, situasi politik pusat kerajaan memang tenang, sehingga banyak daerah di kepulauan nusantara mengaku berada di bawah perlindungannya. Tetapi sejak Gajah Mada meninggal dunia (1364 M) dan disusul Hayam Wuruk (1389 M), situasi Majapahit kembali mengalami kegoncangan. Perebutan kekuasaan antara Wikramawhardana dan Bhre Wirabumi berlangsung lebih dari sepuluh tahun. Setelah Bhre Wirabumi meninggal, perebutan kekuasaan di kalangan istana kembali muncul dan berlarut-larut. Pada tahun 1468 M Majapahit diserang Girindrawardhana dari kediri. Sejak itu kebesaran Majapahit dapat dikatakan sudah habis. Tome Pires (1512-1515 M), dalam tulisannya Suma Oriental, tidak lagi menyebut-nyebut nama Majapahit. Kelemahan-kelemahan yang semakin lama semakin memuncak akhirnya menyebabkan keruntuhannya (Uka Tjandrasasmita, 1984 : 5-6).
Kebesaran dan kejayaan kerajaan Majapahit, yang telah mencapai puncak keemasannya pada pertengahan abad XIV, berangsur-angsur mulai surut. Hal ini terjadi karena sepeninggalan Patih Gajah Mada tidak ada seorang pun yang mampu mengendalikan roda pemerintahan yang besar dan luas wilayah kekuasaannya. Selain itu, sepeninggal raja Hayam Wuruk muncul suatu masalah baru yang menimpa keluarga raja-raja Majapahit, yaitu masalah perebutan kekuasaan dan pertentangan keluarga yang berlangsung berlarut-larut dan menimbulkan peperangan antara keluarga raja-raja Majapahit. Keadaan yang demikian ini menyebabkan timbulnya perpecahan dan kelemahan di berbagai bidang kehidupan pemerintahan di kerajaan Majapahit. Akibatnya, kerajaan Majapahit menjadi rapuh dari dalam. Akhirnya, ketika muncul perkembangan baru di Asia Tenggara, khususnya di Nusantara, yaitu ketika makin berkembangnya agama Islam dan munculnya kekuatan baru di daerah-daerah pesisir serta munculnya orang-orang Eropa sekitar tahun 1500, Kerajaan Majapahit sudah sangat lemah dan mendekati ambang keruntuhannya (Hasan Djafar, 2009 : 62).
Pertentangan antar keluarga raja-raja Majapahit pertama kali muncul dalam pemerintahan Wikramawardhana (Bhra Hyan Wisesa). Dari Parameswari Hayam Wuruk memperoleh seorang putri bernama Kusumawardhani yang kemudian dijadikan putri mahkota. Kusumawardhani kawin dengan saudara sepupunya yang bernama Wikramawardhana, yaitu anak Bhre Pajan Rajasaduhiteswari, adik perempuan raja Hayam Wuruk. Jadi, Wikramawardhana adalah keponakan dan menantu Hayam Wuruk (Hasan Djafar, 2009 : 63).
Dari isteri selir (rabihaji), Hayam Wuruk memperoleh seorang putra, yaitu bhre wirabhumi (Pararaton:37). karena lahir dari isteri selir, maka ia tidak berhak atas tahta kerajaan Majapahit. Walaupun demikian, ia masih diberi kekuasaan oleh ayahnya untuk memerintah di daerah bagian timur, yaitu di daerah balambangan. Adapun Kusumawardhani dan suaminya memperoleh bagian barat dan berkedudukan di Majapahit (Hasan Djafar, 2009 : 63).
Di dalam Serat Pararaton, peristiwa pertentangan keluarga antara Wikramawardhana (Bhra Hyan Wisesa) dengan Bhre Wirabhumi ini disebut Paregreg atau peristiwa huru-hara. Peristiwa ini mulai terjadi pada saka 1323. tiga tahun kemudian peristiwa itu timbul menjadi peperangan antara kedua belah pihak (Pararaton:39). Selanjutnya pararaton mengemukakan bahwa dalam perang saudara itu mula-mula Bhra Hyan Wisesa dari Kadaton Kulon menderita kekalahan, tetapi akhirnya setelah mendapat bantuan dari Bhre Tumapel (Bhra Hyan Parameswara) Kadaton Wetan dapat dikalahkan. Bhre wirabhumi kemudian melarikan diri ia dikejar oleh Raden Gajah (Bhra Narapati) dan tertangkap. Ia kemudian dipenggal kepalanya. Peristiwa ini terjadi pada saka 1328 (Hasan Djafar, 2009 : 64).
Mengutip dari catatan Groeneveldt (1960:36-37), bahwa berita pararaton tentang peperangan antara Wikramawarddhana dan Bhre Wirabhumi ini sesuai dengan berita Cina yang berasal dari zaman Dinasti Ming (1368-1643). Buku ke-324 dari Sejarah Dinasti Ming (Ming-Shih) menyebutkan bahwa setelah kaisar Ch’eng-tsu bertahta pada 1403, ia mengadakan hubungan diplomatik dengan Jawa. Ia mengirimkan utusan-utusannya kepada raja bagian barat, Tu-ma-pan dan kepada raja “bagian timur”, Put-ling-ta-hah atau P’i-ling-da-ha. Pada 1405, laksamana Cheng-Ho memimpin armada perutusan ke Jawa. Pada tahun berikutnya,ia menyaksikan kedua raja di Jawa sedang saling berperang. Kerajaan bagian timur dikatakan mendapat kekalahan dan kerajaannya dirusak. Berita cina itu mengemukakan bahwa pada waktu terjadinya peperangan antara kedua raja itu., perutusan Cina sedang berada di kerajaan bagian timur (Hasan Djafar, 2009 : 64).
Peristiwa persengketaan keluarga ini tidak berhenti walaupun Bhre Wirabhumi sudah meninggal. Karena meninggalnya Bhre Wirabhumi ini berarti kekalahan bagi pihak keluarga Bhre Wirabhumi. Oleh karena itu, muncul benih balas dendam. Maka setelah Wikramawarddhana memerintah di Majapahit sampai saat meninggalnya, yakni pada Saka 1351 (1429 Masehi). Ia digantikan oleh puterinya yang bernama Suhita yang memerintah pada 1429-1447 (Krom, 1931:429-430). Mengenai Suhita, Serat Pararaton memberitahukan bahwa ia adalah anak dari Bhra Hyang Wisesa (Pararaton:37). Namun, siapa ibunya tidak disebutkan di dalam Pararaton, tetapi agaknya ibu Suhita adalah putri dari Bhre Wirabhumi. Oleh karena itu, Suhita mungkin dijadikan raja di Majapahit dengan maksud untuk meredakan persengketaan antara Wikramawarddhana dan pihak keluarga Bhre wirabhumi (Krom, 1931:446; Soekmono, 1961:71). Kitab pararaton memberitakan bahwa pada waktu Suhita memerintah pada Saka 1355 (1433 Masehi), Raden Gajah (Bhra Narapati) dibunuh karena dituduh telah memenggal Wirabhumi (Pararaton:39). Dengan terjadinya pembunuhan terhadap Bhra Narapati, maka persengketaan keluarga itu dapat dikatakan masih terus berlangsung (Hasan Djafar, 2009 : 64).
Pada Saka 1369 yaitu tahun 1447, Suhita meninggal dan kemudian Kertawijaya menggantikannya menjadi raja di Majapahit. Kertawijaya meninggal pada Saka 1373 / 1451 M dan dimakamkan di Kertawijaya pura (Purwadi, 2010 : 119).
Sepeninggal Kertawijaya, Bhre Pamotan menjadi raja dengan bergelar Sri Rajasawarddhana. Ia dikenal dengan sebutan San Sinagara. Pada waktu menjadi raja, ia berkedudukan di Kelin-Kahuripan (Pararaton:40). Atas dasar pemberitaan Pararaton ini, Rajasawarddhana mungkin telah memindahkan pusat pemerintahannya dari ibukota Majapahit ke Kelin-Kahuripan pada masa pemerintahannya. Hal ini mungkin menunjukan bahwa keadaan politik di Majapahit telah memburuk lagi akibat dari adanya pertentangan keluarga yang telah berlangsung berlarut-larut (Hasan Djafar, 2009 : 66).
Rajasawarddhana meninggal pada Saka 1375 (1453 Masehi) dan selama tiga tahun tidak ada raja (Pararaton: 40). Jadi, antara tahun Saka 1375-1378 (1453-1456 Masehi) Majapahit mengalami masa tanpa raja (interregnum). Namun sebab-sebab terjadinya interregnum ini tidak dapat diketahui dengan pasti. Hal ini mungkin juga akibat dari pertentangan keluarga raja-raja Majapahit. Pertentangan yang telah berlangsung dengan berlarut-larut itu sepertinya telah melemahkan kedudukan keluarga raja-raja Majapahit, baik di pusat maupun di daerah. Oleh karena itu, sepeninggal Rajasawarddhana tidak ada yang sanggup tampil untuk memegang tampuk pemerintahan di Majapahit (Hasan Djafar, 2009 : 66).
Setelah kekosongan kekuasaan raja berlangsung selama tiga tahun, baru pada Saka 1378 (1456 Masehi) tampil Bhre Wenker (Bhra Hyan Purwawisesa) untuk memegang pemerintahan Kerajaan Majapahit. Ia adalah anak Bhre Tumapel Dyah Kertawijaya (Pararaton:38). Nampaknya, selama masa pemerintahan Bhra Hyan Purwawisesa pertentangan antar keluarga itu dapat diredakan. Ia memerintah selama sepuluh tahun. Pada Saka 1388 (1466 M), ia meninggal dan digantikan oleh Bhre Pandansalas (Pararaton:40). Pararaton memberitakan (anjenen-in Tumapel). Setelah dua tahun memerintah, ia kemudian menyingkir meninggalkan keratonnya (Hasan Djafar, 2009 : 66).
Dari prasasti Pamintihan yang berangka tahun Saka 1395, Bhre Pandansalas ternyata oleh para sarjana diidentifikasikan Dyah Suraprabhawa Sri Sinhawikrama-warddhana. Pada waktu itu, ia masih memerintah sebagai Raja Majapahit. Prasasti Pamintihan tersebut memberikan keterangan sebagai berikut:
“…..paduka sri maharajadhiraja prajaikanatha, srimacsri bhattara prabu garbbhaprasutinama dyah suraprabhawa sri sinhawikramawarddhana namadewabhiseka sri giri patiprasutabhupatiketubhuta, sakalajanarddhananindya parakrama digwijaya, jangalakadiriyawabhumyekadhipa, siratah prabhuwisesa rin bhumiJawa makaprakaran jangala mwan kadiri”.
Artinya :
(“…..Paduka Sri Maharaja satu-satunya raja rakyat, Bhattara Prabhu yang dipertuan, yang mempunyai nama gelar sri maha raja satu-satunya raja rakyat, bhattara prabhu yang dipertuan, yang mempunyai nama kelahiran suprabhawa dan mempunyai nama gelar sri sinhawikramawarddhana, yang menjadi pemimpin (panji-panji) raja-raja keturunan raja gunung yang mendapat kemenangan dari segala penjuru, penguasa tunggal di tanah Jawa, jenggala dan kediri. Beliaulah raja yang berkuasa di tanah Jawa, janggala dan kediri”). (Hasan Djafar, 2009 : 67).

Pandansalas menggantikan Tumapel yang telah meninggal. Ia menjadi baginda prabu pada tahun Saka 1388 (1466 M). Ia menjadi prabu dua tahun lamanya ia berkuasa, kemudian menarik diri menjadi pertapa. Pandansalas yang nama aslinya Singhawikramawardhana, berkeraton di Tumapel selama dua tahun. Dalam tahun 1468, ia terdesak oleh Kertabhumi (anak bungsu rajasawardhana) yang kemudian berkuasa di Majapahit. Berdasarkan keterangan yang terdapat di dalam prasasti Girindawardhana itu, maka dapat diduga bahwa ketika kadaton tumapel diserang oleh Kertabhumi, Pandansalas menyingkir ke Daha. Di Daha ia kemudian meneruskannya pemerintahannya sebagai raja Majapahit (Purwadi, 2010 : 124-125).
Pandansalas meninggal pada saka 1396 (1474 M) dan kemudian digantikan oleh anaknya Dyah Ranawijaya Pada masa pemerintahannya, Ranawijaya berusaha untuk mempersatukan kembali seluruh wilayah kekuasaan Majapahit yang telah terpecah-pecah akibat pertentangan keluarga antara raja-raja Majapahit. Pada awal menjadi raja menggantikan ayahnya, sebagian kekuasaan Majapahit masih berada di tangan Bhre Kertabhumi. Untuk melaksanakan cita-citanya mempersatukan kembali seluruh wilayah Majapahit, ia harus menggulingkan Bhre Krtabhumi yang sedang berkuasa di Majapahit. Oleh sebab itu, pada saka 1400 ia mengadakan penyerangan ke Majapahit untuk merebut kembali kekuasaan Majapahit dari tangan Kertabhumi (Hasan Djafar, 2009 : 69).
Prabu Kertabhumi yang bergelar Brawijaya V memegang tahta selama 10 tahun. Tidak diduga sama sekali jika ia menjadi raja Majapahit yang terakhir, karena setelah beliau, kerajaan adidaya ini melemah dan kemudian terjadi perebutan kekuasaan kembali. Pada saat konflik di istana memuncak, di pesisir utara Jawa, orang-orang Islam sudah semakin kuat, apalagi semenjak datangnya para wali dan ikut mempengaruhi perkembangan masyarakat Jawa. Pada saat pemerintahan Brawijaya V ini, kekuasaan Majapahit sudah merosot tajam. Ia hanya mewarisi daerah Jawa bagian tengah dan timur saja. Daerah-daerah lain sudah tidak ada kontak kekuasaan lagi. Menurut satu riwayat, Brawijaya V meninggal ketika istana Majapahit diserang oleh Ranawijaya dari Keling (Purwadi, 2010:125).
Menurunnya pengaruh Majapahit menjadi semakin merosot tersebut salah satunya karena tidak ada ahli Negara yang sehebat dan sebijaksana Gajah Mada. Tidak ada tokoh negarawan yang mampu menyatukan berbagai pihak dan menyikapi segala sesuatu persoalan dengan adil dan bijaksana. Kerajaan Majapahit runtuh perlahan-lahan dengan memisahkan dirinya menjadi raja-raja kecil di berbagai pulau dan daerah satu persatu. Majapahit dalam hal ini tidak ada kemampuan untuk mencegahnya, kecuali melihat dan membiarkannya saja. Dalam setengah abad, kerajaan yang besar dan luas tersebut cerai-berai dan kehabisan tenaga (Purwadi, 2010:125).
3. Proses Islamisasi Menjelang Keruntuhan Majapahit
Berdasarkan berita-berita Arab dan Cina, kita telah mengetahui bahwa beberapa daerah di Indonesia sejak abad VII telah dikunjungi oleh para pedagang Islam, bahkan di tempat-tempat tersebut mereka membentuk koloni-koloni. Adanya koloni-koloni para pedagang Islam, yang datang dari Arab, Persia dan India, sudah tentu menimbulkan pengaruh terhadap kehidupan sosial-budaya masyarakat sekitarnya, khususnya di bidang keagamaan dikenalnya agama baru, yakni Islam. Sejak tahun 674 M di pantai barat Sumatera sudah ada koloni-koloni Saudagar yang berasal dari negeri Arab. Pada abad ke-8 M di sepanjang pantai barat dan timur pulau Sumatera diduga sudah ada komunitas-komunitas Muslim (Badri Yatim, 1993 : 162).
Sejak abad ke-13 itu, sudah terjadi hubungan politik dagang antara orang-orang di kepulauan nusantara dengan Arab, Persia, India, dan Cina. Hubungan dagang terjadi terutama melalui jalur laut yang melewati pelabuhan-pelabuhan besar. Pelabuhan utama di Jawa yaitu Sunda Kelapa, Pekalongan, Semarang, Jepara, Tuban dan Gresik telah tumbuh sejak awal abad masehi. Para pedagang asing yang datang ke pelabuhan tersebut sambil menunggu datangnya musim yang baik untuk berlayar sambil membentuk koloni (Purwadi, 2009:2).
Melihat makam-makam Muslim yang terdapat di situs-situs Majapahit, diketahui bahwa Islam sudah hadir di ibu kota Majapahit sejak kerajaan itu mencapai puncaknya. Islam menyebar ke pesisir pulau Jawa melalui hubungan perdagangan, kemudian dari pesisir ini, agak belakangan menyebar ke pedalaman pulau Jawa (Ricklefs. M.C, 2009 : 6).
.
Badri Yatim (1993:198) mengutip dari pernyataan Tome pires tentang gambaran wilayah-wilayah pesisir Jawa berada di bawah pengaruh muslim:
Pada waktu terdapat banyak orang kafir di sepanjang pesisir Jawa, banyak pedagang yang biasa datang : orang Persia, arab, Gujarat, Bengali, melayu, dan bangsa-bangsa lain. Mereka mulai berdagang di negeri itu dan berkembang menjadi kaya. Mereka berhasil mendirikan masjid-masjid dan mullah-mullah datang dari luar. Oleh karena itu, mereka datang dalam jumlah yang terus meningkat. Anak-anak orang kaya muslim sudah menjadi orang Jawa dan kaya, karena mereka telah menetap di daerah ini sekitar 70 tahun. Di beberapa tempat, raja-raja Jawa yang kafir menjadi Muslim, sementara para mullah dan para pedagang muslim mendapat posisi di sana. Yang lain mengambil jalan membangun benteng di sekitar tempat-tempat mereka tinggal dan mengambil masyarakat pribuminya, yang berlayar di kapal-kapal mereka. Mereka membunuh raja-raja Jawa serta menjadikan diri mereka sebagai raja. Dengan cara ini, mereka sebagai tuan-tuan di pesisir itu serta mengambil alih perdagangan dan kekuasaan di Jawa (Badri Yatim 1993:198)
Berkembangnya agama Islam di pesisir pantai terutama kota-kota pelabuhan pesisir utara Jawa tidak terlepas dari peran dan pengaruh Wali Sanga dalam menyebarkan agama Islam. Mereka menyebarkan Islam dengan menggunakan berbagai metode dakwahnya. Mereka tinggal di pantai utara Jawa dari awal abad 15 hingga pertengahan abad 16, di tiga wilayah penting. Yakni Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, serta Cirebon di Jawa Barat (Purwadi, 2010:135).
Kekuasaan Majapahit di tanah Jawa mulai tersaingi dengan kekuatan agama baru, yakni agama Islam. Di Gresik, muncul kewalian Giri yang awal mulanya hanya semacam pesantren dengan kekuasaan ilmu dan spiritual saja. Akan tetapi, lama-lama menjadi semakin kokoh dan menjadi kekuatan politik juga. Daerah-daerah pesisir menjadi tempat konsentrasi pengembangan dakwah para wali. Kadipaten-kadipaten di pesisir utara telah diIslamkan dengan baik oleh para wali, Tuban, Gresik, Sidayu, Jepara, Rembang, Demak, Pekalongan, Cirebon dan Banten. Oleh kekuatan Islam ini, Majapahit terdorong ke daerah pedalaman dan semakin sulit berhubungan dengan daerah luar. Sementara itu, agama Islam pun merangsek ke pedalaman sehingga posisi Majapahit benar-benar menyempit dan mengecil (Purwadi, 2010:135).
Pesantren Ampel Denta dan Giri adalah dua institusi pendidikan paling penting di masa itu. Dari Giri, peradaban Islam berkembang ke seluruh wilayah timur nusantara. Sunan Giri dan sunan gunung jati bukan hanya ulama, namun juga pemimpin pemerintahan. Sunan Giri, Bonang, Kalijaga, dan Kudus adalah kreator karya seni yang pengaruhnya masih terasa hingga sekarang. Sedangkan muria adalah pendamping rakyat jelata. (Purwadi, 2009:14).
Maulana Malik Ibrahim di Gresik merasa perlu membuat bangunan tempat menimba ilmu bersama. Model belajar seperti inilah yang kemudian dikenal dengan nama pesantren. Kendati pengikutnya terus bertambah, malik merasa belum puas sebelum berhasil mengislamkan raja Majapahit. Pada waktu itu Gresik di bawah kekuasaan kerajaan Majapahit. Raja dan rakyat Majapahit masih beragama hindu-budha. Apalagi rakyat akan selalu merujuk dan berteladan pada prilaku raja. Karena itu, mengislamkan raja merupakan pekerjaan yang strategis (Purwadi, 2009:14-15).
Tetapi Malik tahu diri. Kalau ia langsung berdakwah ke raja, pasti tidak akan digubris, karena posisinya lebih rendah. Karena itu ia meminta bantuan sahabatnya, yang menjadi raja di cermin. Konon, kerajaan cermin itu Persia. Tetapi J. Wolbers, dalam bukunya Geshiedenis Van Java, menyebut cermin tak lain adalah kerajaan gedah, alias kedah di Malaysia (Purwadi, 2009:17).
Sumber dari Hikayat Hasanudin memperkirakan pada sebelum 1446-tahun kejatuhan Campa ke tangan Vietnam. De Hollander menulis, sebelum ke Jawa, Rahmatullah memperkenalkan Islam kepada raja Palembang, Arya Dammar, pada 1440. perkiraan Tome Pires menjadi bertambah kuat. Dalam lawatan ke Jawa, Rahmatullah didampingi ayahnya, kakaknya Sayid Ali Murtadha dan sahabatnya Abu Hurairah (Purwadi, 2009:22).
Rombongan mendarat di kota Bandar Tuban, tempat mereka berdakwah beberapa lama, sampai syekh asmarakandi wafat. Sisa rombongan melanjutkan perjalanan ke trowulan, ibu kota Majapahit, menghadap kertawijaya. Disana Rahmatullah menyanggupi permintaan raja untuk mendidik moral para bangsawan dan kawula Majapahit (Purwadi, 2009:22).
Sebagai hadiah, ia diberi tanah di Ampeldenta, Surabaya. Sejumlah 300 keluarga diserahkan untuk dididik dan mendirikan pemukiman Ampel. Meski raja menolak masuk Islam. Rahmatullah diberi kebebasan mengajarkan Islam pada warga Majapahit, asal tanpa paksaan. Selama tinggal di Majapahit, rahmatullah dinikahkan dengan Nyai Ageng Manila, putri Tumenggung Arya Teja, Bupati Tuban (Purwadi, 2009:22).
Prabu Brawijaya V mungkin tidak begitu menyadari akan hal ini. Bahkan beliau sendiri mengambil selir seorang putri Cina yang yang sudah masuk agama Islam. Putri cina tersebut mempengaruhi keagamaan Prabu Brawijaya V. sementara kadipaten-kadipaten di daerah pedalaman yang masih setia dengan agama budha, kecewa dengan prabu Brawijaya V yang dianggap lemah. Misalnya kadipaten ponorogo yang waktu itu dikuasai oleh Suryangalam hendak memisahkan diri dengan Majapahit karena menganggap tidak mampu lagi dijadikan payung. Dalam kondisi politik yang demikian para Wali bertindak cepat mengambil simbol kerajaan Majapahit dan memboyongnya ke Demak, dan mendirikan kerajaan Islam pertama kali di Jawa (Purwadi, 2006:82).